Ahmad
Taqiyuddin Ibnu Taimiyah (728 H)
Ahmad Taqiyuddin Ibnu Taimiyah atau Abul
Abbas Taqiyuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani (Bahasa Arab:
أبو عباس تقي الدين أحمد بن عبد السلام بن عبد الله ابن تيمية الحراني),atau
di panggil Ibnu Taimiyah adalah seorang pemikir dan ulama besar dari Harran, Turki. Yang memiliki
beberapa julukan yang diberikan diantaranya Syaikhul Islam, Imam, Qudwah,'Alim,
Zahid, Da'I dan lainnya.
A.Biografi.
Ia berasal dari keluarga religius. Ayahnya Syihabuddin bin
Taimiyah adalah seorang syaikh, hakim, dan khatib. Kakeknya Majduddin Abul
Birkan Abdussalam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani adalah seorang ulama
yang menguasai fiqih, hadits, tafsir, ilmu ushul dan penghafal Al Qur'an (hafidz).
Nama Taimiyah berasal dari neneknya yang bernama Muhammad bin Al Khadhar. Dimana
beliau ketika pergi naik haji ke makkah melalu jalan Taima’,sehingga setelah
kembali dari haji istri beliau melahirkan anak dan memberikan nama Taimiyah
sehingga keturunannya dinamakan Ibnu Taimiyah.
Sejak kecil Ibnu Taimiyah sudah menunjukkan kecerdasannya.
Ketika masih berusia belasan tahun,Ibnu Taimiyah sudah hafal Alquran dan
mempelajari sejumlah bidang ilmu pengetahuan di Kota Damsyik kepada para.
Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang.
Ketika umurnya belum mencapai belasan tahun, ia sudah menguasai ilmu ushuluddin
dan mendalami bidang-bidang tafsir, hadits, dan bahasa Arab. Ia telah mengkaji
Musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian Kutubu Sittah dan Mu’jam
At-Thabarani Al-Kabir.
Suatu kali ketika ia masih kanak-kanak, pernah ada seorang
ulama besar dari Aleppo,
Suriah yang
sengaja datang ke Damaskus khusus untuk melihat Ibnu Taimiyah yang
kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan
cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu
menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya
beberapa sanad, iapun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan
menghafalnya, sehingga ulama tersebut berkata: "Jika anak ini hidup,
niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang
bocah sepertinya".
Sejak kecil ia hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para
ulama sehingga mempunyai kesempatan untuk membaca sepuas-puasnya kitab-kitab
yang bermanfaat. Ia menggunakan seluruh waktunya untuk belajar dan belajar dan
menggali ilmu, terutama tentang Al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
Ibnnu Taimiyah adalah orang yang keras pendiriannya dan
teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ia pernah berkata: ”Jika
dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah
yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau
kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku
lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku
untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.”
Pada umurnya yang ke-17, Ibnu Taimiyah sudah siap mengajar
dan berfatwa, terutama dalam bidang ilmu tafsir, ilmuushul, dan
semuailmu-ilmulain, baik pokok-pokoknya maupun cabang - cabangnya. ''Ibnu
Taimiyah mempunyai pengetahuan yang sempurna mengenai *rijalulhadis*
(matarantaisanad, periwayat), ilmu*al-Jahruwaal-Ta'dil*, thabaqatsanad,
pengetahuan tentang hadis sahih dan
dlaif, dan lainnya,'' ujar Adz-Dzahabi.
Karena penguasaan ilmunya yang sangat luasitu, ia pun banyak
mendapat pujian dari sejumlah ulama terkemuka. Antaralain, Al-Allamah As-Syaikh
Al-Karamy Al-Hambali dalam kitabnya *Al-Kawakib Al-Darary,* Al-Hafizh Al-Mizzy,
Ibnu Daqiq Al-Ied, Abu Hayyan An-Nahwy, Al-Hafizh Ibnu Sayyid An-Nas, Al-Hafizh Az-Zamlakany, Al-Hafidh Adz-Dzahabi,
dan ulama lainnya. ''Aku belum pernah melihat orang seperti Ibnu Taimiyah, dan
belum pernah kulihat ada orang yang lebih berilmu terhadap *Kitabullah* dan Sunah
Rasulullah SAW selain dirinya, ''ungkap Al-Mizzy. ''Kalau Ibnu Taimiyah bukan Syaikhul
Islam, lalu siapa dia ini? ''kata Al-Qadli Ibnu Al-Hariry.
B. Ide
Pembaharuannya.
Kerangka dasar pemikiran Ibnu Taimiyah adalah menunjukkan bahwa Islam dan pembaharuan Islam
memerlukan suatu cara, yaitu jalan tengah dan sintetik (buatan). Pada
kenyataannya, jalan tengah harus dipadukan dengan perkembangan dalam Islam yang
bermacam-macam tersebut dengan tetap berpegang pada ajaran pokok Islam yang
termaktub dalam al Qur’an dan Sunnah yang murni, yang tidak terkontaminasi oleh
budaya-budaya asing.
Adapun ide-ide pembaharuan Ibnu Taimayah adalan
sebagai berikut :
Pertama, melakukan kritik
dengan cara yang jauh lebih tajam dan ketat dibanding apa yang telah dilakukan
oleh imam gazali.
Kedua, menegakkan
dalil dan bukti berdasarkan akidah, hukum dan kaidah - kaidah islam dengan
sseirama dengan apa yang dilakukan Imam Al Gazali, dan bahkan bila dilihat apa
yang dikemukakan Imam Al Gazali benyak sekali mempergunakan istilah-istilah
logika.
Ketiga, Ibnu Taimiyah
tidak saja menolak segala bentuk taqlid buta, melainkan lebih dari itu.
Keempat, memerangi
bid’ah, taqlid, kemajuan berfikir, kesesatan aqidah, dan dekadensi moral. Ijtihad dalam islam memegang peran yang sangat besar karena hanya dengan
prinsip inilah islam akan selalu menjadi dinamis, hidup dan maju serta tidak
akan pernah ketinggalan zaman. Dengan prinsip ijtihad inilah yang memungkinkan
perkembangan dan kemajuan yang bersinambungan didalam syari’ah.
C. Perjalanan
Intelektual dan Karya karyanya.
Selama dalam hidupnya Ibnu Taimiyah Belajar dengan banyak
guru ketika berada di Damaskus. Dan memperoleh berbagai macam ilmu seperti ilmu
hitung (matematika), Khat (ilmu tulis menulis arab), Nahwu, Ushul fiqih,
Tafsir, hadis dan lainnya. Ibnu
Taymiyyah amat menguasai ilmu rijalul hadits
(perawi hadits) yang berguna dalam menelusuri Hadits dari
periwayat atau pembawanya dan Fununul hadits (macam-macam hadits) baik yang
lemah, cacat atau shahih. Ia memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus
Sittah dan Al-Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah (dalil), ia
memiliki kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan
kelemahan para mufassir atau ahli tafsir. Tiap malam ia menulis tafsir, fiqh,
ilmu 'ushul sambil mengomentari para filusuf . Sehari semalam ia mampu menulis
empat buah kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang
syari'ah. Ibnul Wardi menuturkan dalam Tarikh Ibnul Wardi
bahwa karangannya mencapai lima ratus judul. Karya-karyanya yang terkenal
adalah Majmu' Fatawa yang berisi masalah fatwa fatwa dalam agama Islam. Hingga dalam
usia muda, ia telah hafal Al-Qur'an.
Ia
dikaruniai kemampuan mudah hafal dan sukar lupa sehingga digambarkan dalam
kitab Al- A’lam Al Aliyyah :
كأن الله قد خصه بسرعة الحفظ، وإبطاء النسيان لم يكن يقف على شيء أو يستمع لشيء - غالباً - إلا ويبقى على خاطره، إما بلفظه أو معناه، وكان العلم كأنه قد اختلط بلحمه ودمه وسائره
Artinya :
Seolah olah
Allah telah mengistimewakannya dengan cepat menghapal dan sulit lupa sehingga
apapun yang ia dengar akan melekat di hatinya baik lafaznya atau maknanya dan
adalah ilmu telah bercampur aduk dengan daging dan darahnya.
Ibnu
Taymiyyah amat menguasai ilmu rijalul hadits (perawi hadits) yang berguna dalam
menelusuri Hadits dari periwayat atau pembawanya dan Fununul hadits
(macam-macam hadits) baik yang lemah, cacat atau shahih. Ia memahami semua
hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-Musnad. Dalam mengemukakan
ayat-ayat sebagai hujjah atau dalil, ia memiliki kehebatan yang luar biasa,
sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para mufassir atau ahli
tafsir. Tiap malam ia menulis tafsir, fiqh, ilmu 'ushul sambil mengomentari
para filusuf . Sehari semalam ia mampu menulis empat buah kurrosah ( buku kecil
) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang syari'ah. Ibnul Wardi
menuturkan dalam Tarikh Ibnul Wardi bahwa karangannya mencapai lima ratus
judul. Karya-karyanya yang terkenal adalah Majmu' Fatawa yang berisi masalah
fatwa-fatwa dalam agama Islam.
Ibnu
Taimiyah banyak melahirkan karya fenomenal yang menjadi pegangan dan rujukan
ulama – ulama sesudahnya. Diantaranya, *Minhajus Sunnah, Al-Jawab Ash-Shahih
Liman Baddala Dina Al-Masih, An Nubuwah, Ar-Raddu 'Ala Al-Manthiqiyyin,
Iqtidha'u Ash-Shirathi Al-Mustaqim, Majmu' Fatawa, Risalatul Qiyas, Minhajul
WushulIla'Ilmil Ushul, Syarhu Al-Ashbahaniwar Risalah Al-Humuwiyyah,
At-Tamiriyyah, Al-Wasithiyyah, Al-Kailaniyyah, Al-Baghdadiyyah, Al-Azhariyyah,
Ibnu
taimiyah juga melahirkan beberapa karya dalam bidang :
A.Tafsir
Tafisr adalah disiplin ilmu yang lebih digandrungi Ibnu Taimiyah dengan mengumpulkan dan membukukannya ia mulai belajar tafsir di Jami’ah Al Umawy ketika ia berusia 30 Tahun . Seperti motif yang dipilih dengan memahaminya melalui indera perasa kecendrungan daya rasa, menentukan kecendrungan tafsir terhadap batas yang tidak lepas dari sumber al-Qur’an dan Sunnah serta Atsar Salaf untuk menyusun maddah tafsir. Mengambil dalil dengan ayat-ayat, lalu menjelaskan dan menafsirkanya, sehingga tidak lepas dengan ayat dan memperolehnya dengan penjelasan dan penafsiran. Dan oleh karena itu, dengan keluasannya tentang tafisr, Ibnu Taimiyah dapat menyelesaikan karyanya sampai tiga puluh jilid, sebagaimana yang dikatakan oleh muridnya.
Tafisr adalah disiplin ilmu yang lebih digandrungi Ibnu Taimiyah dengan mengumpulkan dan membukukannya ia mulai belajar tafsir di Jami’ah Al Umawy ketika ia berusia 30 Tahun . Seperti motif yang dipilih dengan memahaminya melalui indera perasa kecendrungan daya rasa, menentukan kecendrungan tafsir terhadap batas yang tidak lepas dari sumber al-Qur’an dan Sunnah serta Atsar Salaf untuk menyusun maddah tafsir. Mengambil dalil dengan ayat-ayat, lalu menjelaskan dan menafsirkanya, sehingga tidak lepas dengan ayat dan memperolehnya dengan penjelasan dan penafsiran. Dan oleh karena itu, dengan keluasannya tentang tafisr, Ibnu Taimiyah dapat menyelesaikan karyanya sampai tiga puluh jilid, sebagaimana yang dikatakan oleh muridnya.
B.Hadis
Hadits
Walaupun tidak ditemukan sebuah disiplin ilmu hadits dan Syarh-nya secara independen. Tetapi disiplin ilmu ini sudah mencapai puncaknya, mengalami masa gemilang dan sempurna di antara era ketujuh dan delapan, karena jika dikembalikan pada masa itu kebutuhun akan membukukan, mengarang atau bahkan syarh hadits, akan tetapi karya-karyanya meliputi berbagai maddah melalui dorongan yang kuat untuk mengumpulkan pokok-pokok hadits, perawi, Jarh, imam, dan kritik hadits, fiqh serta hadits, seperti kitab 'Minhaj al-Sunnah'.
Walaupun tidak ditemukan sebuah disiplin ilmu hadits dan Syarh-nya secara independen. Tetapi disiplin ilmu ini sudah mencapai puncaknya, mengalami masa gemilang dan sempurna di antara era ketujuh dan delapan, karena jika dikembalikan pada masa itu kebutuhun akan membukukan, mengarang atau bahkan syarh hadits, akan tetapi karya-karyanya meliputi berbagai maddah melalui dorongan yang kuat untuk mengumpulkan pokok-pokok hadits, perawi, Jarh, imam, dan kritik hadits, fiqh serta hadits, seperti kitab 'Minhaj al-Sunnah'.
C. Ushul
Fiqh
Tema yang
diusung Ibnu Taimiyah dalam ushul Fiqh melalui hasratnya yang kuat, Ibnu
Taimiyah dapat menggapai tujuannya sebagai orang yang memiliki bakat, naluri
yang kuat, serta kedudukannya dalam berijtihad. Dan oleh karena itu, kita dapat
melihat bahwa karya-karya yang dihasilkan Ibnu Taimiyah keseluruhannya meliputi
pembahasan-pembahasan ushuliyah. Lebih-lebih kitabnya yang berjudul ; Iqtidza
al-Shirath al-Mustaqim, Majmu Fatawa, Risalah al-Qiyas, Minhaj al-Wusul ila
‘Ilm al-Ushul, dan lain-lainya.
D. Fiqh
Disiplin
Ilmu Fiqh di setiap madzhab memiliki corak masing-masing sesuai masanya, yang
tidak bisa dilepaskan dengan masa tersebut. Ibnu Taimiyah telah menggeluti
banyak bidang tentang masalah-masalah dan hukum-hukum yang dilengkapi dengan
al-Qur'an, Sunnah, Ijma, Qiyas dan Ushul Fiqh. Dan menegakkannya sebagai
istinbat dan Ijtihad. Dan mencoba menyesuaikan antara al-Fiqh dan al-Sunnah
serta menjadikan cabang dan argumen Fiqhiyyah yang dikaitkan dengan
hadits-hadits shoheh. Tentunya dengan mengambil hukum-hukum dari al-Qur'an dan
sunnah.
E. Ilmu
Kalam
Kalau kita
berpandangan dan menganalisa karya-karya Ibnu Taimiyah maka kita akan menemukan
disiplin Ilmu kalam dan akidah yang hampir mencapai setengah karya-karyanya
atau sepertiga karyanya. Risalah-risalah yang Ibnu Taimiyah susun dalam terma
ini akan didapati di berbagai kota dan tempat yang berbeda-beda, seperti Syarh
al-Ashbahiyah, al-Risalah al-Humawiyah, al-Tadmiriyah, al-Wasathiyah,
al-Kilaniyah, al-Baghdadiyah, al-Azhariyah dan lain sebagainya.
D. Pola Pemikiran.
Barangkali tokoh yang paling menonjol dalam mendakwahkan 'Salafiah' dan membelanya mati-matian pada masa lampau ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beserta muridnya Imam Ibnul-Qoyyim dan yang lainnya. Mereka inilah orang yang paling pantas mewakili gerakan 'Pembaruan Islam' pada masa mereka. Karena pembaruan yang mereka lakukan benar-benar mencakup seluruh disiplin ilmu Islam. Mereka telah menumpas faham 'taqlid', 'fanatisme madzhab fiqh' dan ilmu kalam yang sempat mendominasi dan mengekang pemikiran Islam selama beberapa abad. Namun, disamping kegarangan mereka dalam membasmi 'ashobiyah madzhabiyah' ini, mereka tetap menghargai para Imam Madzhab dan memberikan hak-hak mereka untuk dihormati. Hal itu jelas terlihat dalam risalah "Raf'i Ma lam 'an al-A'immat al-A'lam" karya Ibnu Taimiyah.
Demikian gencar serangan mereka terhadap 'tasawuf' karena penyimpangan-penyimpangan pemikiran dan aqidah yang menyebar di dalamnya. Khususnya di tangan pendiri madzhab 'al-Hulul Wal-Ittihad' (penyatuan diri dengan tuhan). Dan penyelewengan perilaku yang dilakukan para orang jahil dan yang menyalahgunakan 'tasawuf' untuk kepentingan pribadinya. Namun, mereka menyadari tasawuf yang benar (shahih). Mereka memuji para pemuka tasawuf yang ikhlas dan robbani. Bahkan dalam bidang ini, mereka meninggalkan warisan yang sangat berharga, yang tertuang dalam 'Majmu' Fatawa' karya besar Imam Ibnu Taimiyah. Demikian pula dalam beberapa karangan Ibnu Qoyyim. Yang termasyhur ialah 'Madarijus Salikin Syarah Manazil as-Sairin ila Maqomaat Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in'.
Manhaj Nalar dan mengikuti dalil, melihat setiap pendapat secara obyektif, bukan memandang orangnya, itulah yang telah ditempuh oleh Ibnu Taimiyah. Metodologi yang diusung Ibnu Taimiyah dalam pemikiran dan tulisannya mengenai Tafsir, Akidah, Fiqh dan Tasawuf selalu dikuatkan dengan bukti atau dalil dari al-Qur’an dan sunnah, kemudian mendekatkan sunnah dengan nalar, menggunakan dan menentukan nalar hanya sekedar untuk nasihat bukan untuk gubahan, dan pendekatan bukan untuk petunjuk. Oleh karena itu, kita akan menemukan dan menentukan sebuah kesatuan sifat, tanda dan kepribadian yaitu kesatuan dalam satu metodologi saja.
Metodologi
yang ditempuh Ibnu Taimiyah terdiri dari Tiga unsur;
Adalah Ibnu Taimiyah berpegang teguh kepada :
a.
Al- Qur’an (
Kitabullah ) b. Hadis yang saheh menurutnya dari hadis- hadis rasulillah dan sunnah- sunnahnya
c. Pendapat Para Sahabat
d. dan kadang-kadang dengan qaul dan Atsar Tabi’in
Karena itulah dikatakan :
((إنه لا يتبع الرجال على أسمائهم، فليس لأحد عنده من مقام إلا الدليل من الكتاب والسنة وآثار السلف رضي الله عنهم))
Sesungguhnya dia tidak mengikuti seseorang ahli menurut namanya, tidak ada kedudukan bagi seseorang kecuali itu dalil dari kitab dan sunnah dan atsar salaf.
Kemudian dikatakan :
((كان يرجع فيما يفكر فيه من شرع إلى كتاب الله وسنة رسوله ، ولا يتبع أحداً بعد الله ورسوله إلا الصحابة، ويستأنس بأقوال التابعين، ويحتج بها أحياناً عند المناظرة)).
Adalah beliau mengembalikan pemikiran syari’at itu kepada Kitab Allah dan Rasulnya dan dia tidak mengikuti pendapat seseorang pun setelah kitab Allah dan rasulnya kecuali para sahabat dan kadang-kadang menggunakan pendapat tabi’in ketika perdebatan.
2. Menggunakan Akal pada tempatnya.
Ibnu Taimiyah tidaklah menggunakan nalar
sebagai sumber yang mutlak dalam menentukan hukum dia bependapat harus
berdasarkan Al- Qur’an dan sunnah terutama pada masalah – masalah yang
berkaitan dengan Aqidah dan membahasnya dengan nalar yang cemerlang sebagai
dalil dan burhan karena ia sadar bahwa nalar mempunyai batas dan tempat.
karena itulah dikatakan :
كان يعرف للعقل قيمته ومجاله الذي يصول فيه ويجول، فلا يجاوز به هذا المجال ولا يرتفع به عن قدره)).
Adalah ( Ibnu Taimiyah ) sadar bahwa Aqal
memiliki bagian dan ruang batas yang ia beredar padanya maka ia tidak akan bisa
melewati batas – batas tersebut dan tidak bisa juga keluar darinya.
3. bnu
Taimiyah tidaklah orang yang fanatik terhadap pemikirannya saja.
Ibnu Taimiyah selalu melepas dirinya dari
segala apa yang mengikatnya, kecuali yang sesuai dengan al-Qur'an, Sunnah dan
Atsar Salaf.
karena itulah Abu Zahrah mengatakan :
((إنه لم يكن متعصباً في تفكيره، فلم يسطر عليه فكر معين يتعصب له، ويجمد عليه، بل كان حر التفكير، خلع نفسه من كل ما يقيده إلا الكتاب والسنة وآثار السلف الصالح)).
Sesungguhnya beliau tidak panatik dalam
pemikirannya dan pemikiran orang lain dan memegangnya tetapi beliau sangat
merdeka tidak terikat kecuali kitab Allah dan sunnah rasul dan atsar sahabat.
Ibnu Taimiya
adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis yang
telah ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya karena mempertahankan keyakinan dan pendapatnya ia beberapa kali
keluar masuk penjara dan itu terjadi ketika ia berumur 32 tahun setelah pulang
dari mengerjakan ibadah Haji dengan rincian sebegai berikut :
1. Penjara Pertama di Damsyik ( Syiria) 693
ia dipenjara bebera waktu ( tidak lama )
karena dan seorang Nasrani yang bernama Assaf yang mengaku dan menyaksikan
bahwa Ibnu Taimiyah mencaci Nabi Muhammad SAW dengan kejadian ini ia diadukan
ke sultan dan dengan kejadian ini lahirlah kitabnya yang berjudul “ Assarim Al
Maslul “
2. Penjara
Kedua di Mesir pada Tahun 705
ia dipenjara selam 1 Tahun 6 Bulan karna
masalah:
1. Aras, Dan tersebut dalam kitab "Daf'us Syubah man tasyabbah wa tamarrad" (Penolak syubahat yang membikin syubahat dan penyelewengan), karangan Mufti dan Syailkhul Islam Taqiyuddin al Husaini ad Dimsyaqi (meninggal di Damsyik tahun 829H.), pada halaman 41 yaitu: "Mengabarkan Abu Hasan 'Ali ad Dimsyaqi, ia terima dari bapaknya bahwa bapaknya menghadiri majlis Ibnu Taimiyah di Mesjid Damsyik, Ibnu Taimiyah memberi pelajaran dihadapan umum. Ketika ia sampai kepada pengajian ayat " Tuhan istawa di atas Arsy" maka ia ( Ibnu Taimiyah ) mengatakan bahwa Tuhan duduk bersela serupa sela saya ini. Pada ketika itu pendengar jadi ribut dan marah sehingga ia dilempari dengan sepatu dan sandal, diturunkan dari kursi duduknya, ditampar dan diperpukulkan bersama-sama. Perkara ini sampai kepada polisi dan hakim yang kemudian mengadakan persidangan untuk mengadili Ibnu Taimiyah itu.Mendengar jawaban-Jawaban Ibnu Taimiyah dalam pengadilan, hakim-hakim menjadi geli melihat kedangkalan ilmu Ibnu Taimiyah itu." Demikian tersebut dalam Buku. "Daf'us Syubah man tsabbah wa tamarrad, karangan Taqiyuddin al Husaini, orang Damsyik yang meninggal 99 tahun terkemudian dari Ibnu Taimiyah.
1. Aras, Dan tersebut dalam kitab "Daf'us Syubah man tasyabbah wa tamarrad" (Penolak syubahat yang membikin syubahat dan penyelewengan), karangan Mufti dan Syailkhul Islam Taqiyuddin al Husaini ad Dimsyaqi (meninggal di Damsyik tahun 829H.), pada halaman 41 yaitu: "Mengabarkan Abu Hasan 'Ali ad Dimsyaqi, ia terima dari bapaknya bahwa bapaknya menghadiri majlis Ibnu Taimiyah di Mesjid Damsyik, Ibnu Taimiyah memberi pelajaran dihadapan umum. Ketika ia sampai kepada pengajian ayat " Tuhan istawa di atas Arsy" maka ia ( Ibnu Taimiyah ) mengatakan bahwa Tuhan duduk bersela serupa sela saya ini. Pada ketika itu pendengar jadi ribut dan marah sehingga ia dilempari dengan sepatu dan sandal, diturunkan dari kursi duduknya, ditampar dan diperpukulkan bersama-sama. Perkara ini sampai kepada polisi dan hakim yang kemudian mengadakan persidangan untuk mengadili Ibnu Taimiyah itu.Mendengar jawaban-Jawaban Ibnu Taimiyah dalam pengadilan, hakim-hakim menjadi geli melihat kedangkalan ilmu Ibnu Taimiyah itu." Demikian tersebut dalam Buku. "Daf'us Syubah man tsabbah wa tamarrad, karangan Taqiyuddin al Husaini, orang Damsyik yang meninggal 99 tahun terkemudian dari Ibnu Taimiyah.
2. Nuzul, Ibnu Bathuthah, seorang pengembara
dari Tangger, Al -Jazair pada akhir abad
ke VII dan permulaan abad ke VIII H. menerangkan dalam bukunya yang bernama,
"Rahlah Ibnu Bathutbah", pada jilid I, halaman 57 yaitu:
وكنت إذ ذاك بدمشق فحضرته يوم الجمعة وهو يعظ الناس على منبر الجامع ويذكرهم فكان من جملة كلامه أن قال : إن الله ينزل إلى سماء الدنيا كنزولي هذا ونزل درجة من درج المنبر فعارضه فقيه مالكي يعرف بابن الزهراء وأنكر ما تكلم به
Artinya:
Saya ketika itu sedang berada di Damsyiq. Saya hadir di mesjid mendengar dia memberi pelajaran dihadapan umum di mimhar mesjid kami" Banyak pelajaran diucapkan. Di antara perkataannya: "Tuhan Allah turun ke langit dunia serupa turunnya dengan turun saya ini , lalu ia turun satu tingkat di jenjang mimbar. Pada ketika itu seorang ulama ahli fiqih Madzhah Maliki bernama Anus Zahra' membantah dia dan melawan ucapan-ucapan Ibnu Taimiyah (Lihat Rahlah Ibnu Bathuthah, Juz I, halaman 57, buku cetakan Azhariyah, Kairo 1928 M).
Saya ketika itu sedang berada di Damsyiq. Saya hadir di mesjid mendengar dia memberi pelajaran dihadapan umum di mimhar mesjid kami" Banyak pelajaran diucapkan. Di antara perkataannya: "Tuhan Allah turun ke langit dunia serupa turunnya dengan turun saya ini , lalu ia turun satu tingkat di jenjang mimbar. Pada ketika itu seorang ulama ahli fiqih Madzhah Maliki bernama Anus Zahra' membantah dia dan melawan ucapan-ucapan Ibnu Taimiyah (Lihat Rahlah Ibnu Bathuthah, Juz I, halaman 57, buku cetakan Azhariyah, Kairo 1928 M).
3. Penjara
Ketiga di Mesir pada Tahun 707
ia dipenjara dari tanggal, 3 Syawwal sampai
18 Syawwal 707 H. karena pendapatnya tentang orang-orang sufi di mesir dan
khususnya tentang Ibnu Araby dan larangannya tentang Istigasah dan Tawassul
dengan Makhluq
4. Penjara
Keempat di Mesir pada Tahun 707
ia dipenjara selama 2 Bulan dari akhir bulan
syawal tahun 707 sampai dengan awal tahun 708 karena ada seorang pejabat Mesir
yang mengadukannya akhirnya dia dipenajara
5. Penjara
Kelima di Iskandariyah pada Tahun 709
ia dipenjara selama 7 Bulan karena ada
seorang pejabat Mesir juga.
6. Penjara
Keenam di Damsyik ( Syiria) pada Tahun 720
ia dipenjara selama 5 Bulan 28 Hari karena
masalah sumpah dengan talaq
E. Wafatnya Ibnu Taimiyah.
Ibnu
Taimiyah wafatnya di dalam penjara Qal`ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang
muridnya Ibnul Qayyim, ketika beliau sedang membaca Al-Qur'an
surah Al-Qamar yang berbunyi "Innal Muttaqina fi jannatin
wanaharin"[3]
. Ia berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari,
mengalami sakit dua puluh hari lebih. Ia wafat pada tanggal 20 Dzulhijjah 728
H, dan dikuburkan pada waktu Ashar di samping kuburan saudaranya, Syaikh Jamal Al-Islam
Syarafuddin. Jenazahnya disalatkan di masjid Jami` Bani Umayah sesudah salat
Zhuhur dihadiri para pejabat pemerintah, ulama, tentara serta para penduduk.
Pada saat
itu, tidak ada seorangpun yang tak hadir melayat kecuali ada yang berhalangan,
para wanita yang berjumlah kira-kira 15.000 orang juga datang melayat, ini
belum termasuk suara isakan tangis dan doa yang terdengar di atas rumah-rumah
sepanjang jalan menuju makam, sementara lelaki yang hadir diperkirakan 60.000
bahkan sampai 100.000 pelayat menurut kesaksian Ibnu Katsir.
Bagaimanapun
kita katakanan tentang Ibnu Taimiyah dia adalah manusia biasa juga yang pernah
salah dan benar karena itulah di namakan Manusia. Ibnu kasir mengatakan :
:((كان
- رحمه الله - من كبار العلماء، وممن يخطئ ويصيب، ولكن خطأه بالنسبة إلى صوابه كنقطة في بحر لُجيٍّ، وخطؤه مغفورٌ له، كما صح في البخاري:((إذا اجتهد الحاكم فأصاب فله أجران، وإذا
اجتهد فأخطأ
فله أجر)).
Ibnu Katsir
mengatakan :
Adalah Ibnu
Taimiyah termasuk Ulama besar dan termasuk manusia yang pernah salah dan benar
akan tetapi kesalahannya dibandingkan kebenarannya seperti satu titik ditengah
lautan dan kesalahnya sudah diampuni karena ada riwayat yang saheh dalam saheh
Bukhari “ Apabila seorang Hakim berijtihad lalu ijtihadnya benar maka ia
mendapatkan dua pahala dan apabila ternyata salah maka baginya satu pahala “.
Daftar Pustaka :
Taqiyuddin
Ibnu Taimiah, Majmu’ Fatawa, Baerut, Darul Wafa’, 2005
Taqijuddin
Ibnu Taimyah,Prof. 1967. Pokok-pokok Pedoman Islam Dalam Bernegara. Bandung:
C.V. Diponegoro.
Bakar Bin
Abdullah Abu Zaed, Al Madakhil Ila Atsari Syekh Islamiyah Ibni Taimiah,Dar Alim
Fawaid
Taqiyuddin
Ibnu Taimiah, Al-Qawaid An-Nuraniyyah Al – Fiqhiyyah, Baerut,Darulkutub Al
ilmiyah, 1994
Muhammad bin
Abdurrahman, Zubdatul Fawa’id, Darut tarmiyah,2009
Sirajuddin
Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah baru,2010
Terimakasih Telah Mengunjungi Blog ini, Pembaca yang baik adalah yang mau menyediakan sedikit waktu dan usahanya untuk memberikan komentar demi kemajuan Blog ini. Wassalam